Selasa, 13 November 2012

kasus diego michiels


Bagaimana kelanjutan kasus pesepak bola Diego Michiels yang terlibat pemukulan dalam perkelahian di Jakarta pada Kamis (8/11) malam?

Meterai tersangka telah disematkan kepada pesepak bola nasional itu, dan ia telah ditahan di Polsek Tanah Abang, Jakarta Pusat. Diego diduga mengeroyok seorang mahasiswa bernama Mef Paripurna (21) di Parkiran Basement 2, Senayan City, Jakarta Pusat, Kamis (8/11/2012) dini hari.

Bek andalan tim nasional Indonesia, Diego Michiels (22) telah melanggar Pasal 170 tentang pengeroyokan dengan ancaman hukuman selama lima tahun. Berhadapan dengan palu hukum, apakah Diego Michiels (DM) masih layak membela timnas Merah Putih?

Menjawab pertanyaan bagaimana kelanjutan kasus pesepak bola DM itu, mereka yang mengasihi sepak bola sebagai olah raga sarat disiplin, lantas mengaitkan tindakan pengeroyokan itu sebagai tindakan indisipliner.

Seluruh pengurus PSSI merespons kasus Diego Michiels itu, dari penanggung jawab Tim Nasional Indonesia, Bernhard Limbong sampai pelatih Nil Maizar. Di mata hukum, tindakan pengeroyokan diancam hukuman lima tahun. Di hadapan nilai keolahragaan, tindakan itu divonis sebagai indispliner.

"Ini bentuk penganiayaan ringan karena kedua belah pihak sama-sama mabuk. Diego kita butuhkan untuk Piala AFF. Kami juga tak menyepelekan hukum, tetapi kami juga berharap penahanannya ditunda untuk kepentingan AFF," kata Limbong, Jumat malam (9/11).

"Diego sudah berbicara dengan saya. Dia mengaku memang salah telah keluar malam. Karena itu, saya beri sanksi dalam bentuk pemotongan uang saku harian sebesar Rp 500.000. Nanti, uang itu akan kita sumbangkan," ungkap Nil seusai memimpin latihan timnas di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis petang.

Kedua argumentasi itu sama-sama merujuk kepada motif kehendak seseorang ketika melakukan tindakan secara mandiri dan bertanggung jawab.

Dalam kasus DM, terjadi tindakan pengeroyokan yang dilakukan salah seorang punggawa timnas Indonesia, dan kedua argumentasi itu bersandar kepada anggapan bahwa hukum hendaknya memperhatikan maksud-maksud subyektif seseorang, artinya maksud subyektif DM.

Artinya, seluruh tindakan hanya dianggap punya moralitas keolahragaan, bila merujuk dan mengacu kepada apa "yang seseorang niatkan, apa yang seseorang maksudkan". Benarkah?

Soalnya, apa yang DM niatkan dan maksudkan, nyatanya Mef Paripurna sebagai korban mengalami luka di mata, kepala, dan bagian lain di tubuhnya. Ada sejumlah bukti yang sudah ditemukan berupa rekaman kamera CCTV dan hasil visum terhadap Mef.

Di hadapan nilai keolahragaan yang menjunjung nilai disiplin dan sportivitas, aksi mengeroyok kemudian mencederai seseorang adalah perilaku buruk.

Sebagai atlet, bertindak indispliner dan melakukan pengeroyokan yang jauh dari nilai sportivitas, membuktikan bahwa ia mengingkari kewajiban setiap manusia untuk manjauhi perilaku buruk, dan wajib memupuk perilaku terpuji.

Mengenai perilaku subyektif, ada juga argumentasi menarik dari kekasih DM, pemain sinetron Nikita Willy.

"Dari sisi personal, Diego memang bersalah. Tapi, dari sisi profesional, (Diego) harus bisa membantu Timnas Indonesia dalam laga AFF. Takutnya, kalau berkepanjangan, dia enggak bisa membela negara kita," kata dara berusia 18 tahun itu, yang mengaku tidak tahu apakah Diego masih menjadi personel Tim Nasional atau tidak.

Berhadapan dengan tuntutan dari sisi profesional sebagai pemain bola, lantas apakah perilaku mengeroyok yang menyebabkan seseorang cedera dapat membenarkan perilaku buruk seseorang?

Perilaku buruk, artinya seseorang merasa sedemikian pasti tentang dirinya sendiri, sehingga menjadikan kehendaknya sendiri menjadi hukum bagi perbuatannya sendiri.

Kalau si Fulan berbuat buruk, maka si Fulan menjadikan kehendaknya sendiri sebagai hukum bagi perbuatannya, padahal ia wajib melakukan yang baik dan menjauhi yang buruk sebagai hukum uiversal bagi setiap manusia.

Implikasinya, tuntutan profesional sebagai pemain bola tidak dapat meruntuhkan kewajiban personal dari setiap manusia untuk berbuat yang baik di mata hukum.

Nah, pengeroyokan yang mengakibatkan seseorang mengalami cedera, dapat dibaca sebagai perilaku seseorang yang paham betul membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apalagi ia pesepak bola profesional yang menjunjung sportivitas dan disiplin atlet. 

Apalagi ada catatan soal perilaku DM sejak mengikuti pemusatan latihan (TC) bersama timnas. Ini kali kedua DM mengingkari sportivitas dan melabrak disiplin atlet.

Sebelumnya, ia pernah kabur meninggalkan TC tanpa sepengetahuan pelatih. Ia malahan menjalani TC bersama Arema yang tampil di ajang perempat final AFC Cup 2012 pada 18 dan 25 September 2012. Meski ia sempat dipulangkan, DM dipersilakan kembali menjalani TC bersama timnas tahap III di Jakarta, Oktober lalu.

Manakala kasus DM terus bergulir, pelajaran apa yang dapat dipetik oleh publik pecinta bola?

Publik dapat belajar apa itu sikap menahan diri (la temperanza), keteguhan hati (la fortezza), dan kemampuan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk (prudenza). Ketiga hal itu dikemukakan oleh ahli pendidikan Komensky sebagaima dikutip oleh Doni Koesoema dalam buku Pendidikan Karakter.

La temperanza, kemampuan untuk mengaktualisasikan dan memuaskan dorongan keinginan dalam diri secara seimbang melalui cara-cara yang tepat. Tahu kapan harus berbicara, tahu kapan harus diam. Bukankah pepatah Latin menyatakan, kebaikan senantiasa berada di tengah-tengah (bene stat in medio).

La fortezza, kemampuan untuk mengalahkan diri sendiri, tahan menanggung kesulitan, mampu optimis di setiap waktu, dan mampu menahan rasa amarah. Pertimbangan rasio menjadi panglima dari tindakan seseorang, bukan justu pertimbang senang tidak senang.

La prudenza, kemampuan untuk mengetahui secara saksama dampak-dampak dari hasil suatu perbuatan. Mampu menilai segala sesuatu merupakan dasar setiap keutamaan.

Pembelajaran dari kasus DM merupakan pembelajaran bagi kita, karena setiap perbuatan buruk adalah perbuatan buruk, atau buruk demi buruk (malum proptem malum). Angsa putih akan suka berkumpul dan suka bersua dengan angsa putih.